Rasulullah Muhammad
SAW dikenal sebagai pribadi yang baik (anggun) dalam cara berpakaian, paling
pintar, cara mengenakan pakaiannya berdaya guna, paling praktis, paling mudah
melepas dan mengenakan pakaiannya. Rasulullah SAW jamak mengenakan kain sarung
dan sorban. Keduanya merupakan pakaian yang paling mudah dikenakan di badan,
jika dibandingkan dengan dengan pakaian-pakaian lainnya. Rasulullah SAW juga
jamak memakai gamis, bahkan pakaian ini merupakan pakaian yang paling digemari
Rasulullah SAW.
Cara
berpakaian Rasulullah SAW ini diantaranya adalah suka mengenakan pakaian yang
paling bermanfaat bagi tubuhnya. Rasulullah SAW tidak pernah memakai gamis yang
lengannya terlalu panjang atau terlalu ketat. Lengan baju Rasulullah SAW hanya
sampai di pergelangan tangan dan tidak lebih dari itu. Dengan demikian, pakaian
itu tidak sulit dipakai dan tidak menghalangi ruang gerak agar tetap mobile, cekatan, lincah, dan memudahkan
pergerakan tubuh lainnya. Meskipun begitu Rasulullah SAW tidak pernah
mengenakan pakaian berlengan pendek, hingga menyebabkannya harus menahan dingin
maupun panas.
Rasulullah
SAW jamak mengenakan pakaian yang ujung kain dan gamisnya tidak lebih dari
pertengahan betis, tidak melebihi mata kaki, yang dapat mengganggu saat
mempercepat maupun memperlambat jalan,
seolah-olah kakinya terbelenggu (terjerat). Nabi SAW tidak pernah mengenakannya
dengan potongan terlalu pendek. Sorba Rasulullah SAW tidak terlalu besar yang
dapat mengganggu dan memberatkan (membebani) kepala, atau membuat kepala pegal
dan mudah terserang penyakit, seperti yang jamak kita terlihat pada diri
kawan-kawan kita di zaman ini.
Rasulullah
SAW tidak pernah menggunakan sorban dengan ukuran terkecil, sehingga tidak
cukup untuk melindungi kepala dari sengatan panas atau tusukan dingin. Sorban
Rasulullah SAW berukuran sedang —tidak terlulu besar tidak terlalu kecil,
Rasulullah SAW jamak memasukkan ujung sorban di balik bajunya bagian belakang.
Cara berpakaian seperti itu membuahkan banyak daya guna dan dapat memantapkan posisi
sorban itu sendiri, terutama pada saat menunggang kuda maupun untuk manakala berjalan
dengan kecepatan tinggi.
Terkait
dengan ini, banyak orang yang sengaja membuat syal sebagai ganti melilitkan
sorban ke leher bagian belakan. Sungguh terdapat perbedaan yanng mencolok
antara keduan cara—memasukkan ujung sorban di balik bajunya bagian vis a vis memakai syal—ini. Di samping
daya guna yang berbeda, nilai estetika keduanya juga jauh berbeda. Jikalau kita
jeli menelisik cara berpakaian Bavi SAW, maka kita akan memakrifati—memahami dengan
pengertian utuh—bahwa cara berpakaian Rasulullah SAW adalah cara paling
praktis, efisien, dengan efektif, terutama dalam kaitannya (upaya) menjaga
kesehatan maupun stamina tubuh. Cara berpakaian seperti itu, jauh dari dampak
yang menyebabkan kesulitan maupun dapat menyiksa tubuh.
Rasulullah
SAW jamak mengenakan khuff—sepatu kulit
panjang—saat bepergian, kadang memakainya secara permanen dan kadangkala tidak.
Hal itu oleh karena kaki Rasulullah SAW membutuhkan “selimut” preventif guna
menghindari terik panas matahari maupun udara dingin, bahkan pada saat tidak
berpergian pun Rasulullah SAW sering mengenakan khuff (sepatu kulit panjang). Warna pakaian yang paling digemari
Rasulullah SAW adalah warna putih atau abu-abu, yakni seperti warna mesiu.
Rasulullah
SAW tidak biasa mengenakn pakaian warna merah, hitam, dan pakaian dengan motif warna-warni,
maupun warna metalik. Meskipun demikian Rasulullah SAW pernah mengenakan syal
warna merah produk dari negeri Yaman. Syal tersebut tidak berwarna merah murni,
namun ada warna hitam dan putihnya. Rasulullah SAW kadangkala mengenakan syal
berwarna hijau. Rasulullah SAW juga sering terlihat menegenakan syal warna
merah dan kadang bewarna dan kadang berwarna hijau, seperti dijelaskan
sebelumnya. Mereka yang mengira Rasulullah SAW mengenakan syal berwarna merah
murni adalah salah. Penjelasan sebelumnya dirasa cukup gamblang.